Masih Tentangku (Tentang Daun Yang Rapuh)

Aku tak perlu basa basi itu, prolog epilog apapun itu namanya dalam sebuah drama. Hidup ini tak seperti film drama yang terlalu didramatisir, berlebihan. Sekalipun ada waktu dimana memang kuakui drama itu ada. Sayup terdengar lantunan lagu dari winamp laptopku

"Tak perlu tertawa atau menangis pada gunung dan laut
Karena gunung dan laut tak punya rasa"
(Payung Teduh)

Ya, drama. Aku masih ingat ketika aku diliputi rasa gundah, aku mencari laut, berharap ketenangan aku dapatkan, menatap hamparan air yang luas yang entah berujung dimana. Menikmati hembusan angin yang menerpa wajahku, kemudian tersedu. Dan kau pasti bisa menebaknya, laut tetap sama, bersuarakan deburan ombak, ia tak pernah memelukku, tapi setidaknya ia memberiku kesempatan untuk menenangkan diri tanpa mengusikku dengan kata "sudah jangan menangis".

Aku pernah mencoba beranjak pergi, dari titik dimana aku berdiri saat ini. Mencoba menikmati embun pagi, menatap langit yang entah kan mendung ataukah kan secerah hari kemarin. Tapi kemudian aku kembali. Dan aku menantikan waktu itu menyapaku lagi. Waktu dimana aku terbang melayang tertiup angin.

Canda gurau itu selalu ku dengar tiap hari, dimana aku yang menjadi objek candaan mereka. Tak jarang mereka melemparku dari satu wajah ke wajah yang lain, di hempaskan dan ditendang, berserakan, mereka tertawa puas. Rapuhku bukan berarti tak miliki rasa, rapuhku bukan berarti tak miliki hati. Aku mungkin tak lagi bermakna bagi mereka tapi bagi sebagian yang lain aku masih berharga. Aku ikut tertawa saat mereka tertawa, menertawai diri sendiri sepertinya, tapi taukah kau, dalam tubuh rapuhku yang terdalam aku tersayat.
Aku teringat tulisan seseorang dalam sebuah catatan buku hariannya saat ia duduk-duduk dibawah rindangnya dedaunan
"Kita kuat, karena kita tak pernah membalas kebencian, kita menarik diri jauh, tidak ada pengaruh apapun cerca yang mengancam kita. Diam dan hanya dengarkan, sambil meningkatkan ambisi dan prestasi. Karena kita yakin, ketika kita membalas dengan olok serapah, kita tiada beda dengan kumpulan orang-orang dungu." (dr.Ezhar)

Aku diam, mencoba menikmati apa yang mereka tertawakan atasku, entahlah mungkin ini cara mereka peduli padaku. Setiap hari aku coba untuk menahan agar diri tak luluh lantak. Aku tau rencana indah Tuhan tak pernah keliru. Mungkin ini cara Dia mengindahkanku, mungkin ini cara Dia menguatkanku, dan mungkin ini cara Dia membuatku lebih berarti.

Hey, kenapa melulu hidupku seolah terlihat rapuh? Mungkin ini karena aku daun yang rapuh, yang tak mampu menahan lagi gengaman ranting pada dahan tinggi yang tertiup angin. Tapi setidaknya aku tetap bisa tertawa, saat anak-anak bermain menikmati guguran dedaunan yang menerpa wajah mereka. Saat sebagian yang lain tersenyum melihat tanahnya menjadi subur. Dan saat mereka berkata "aku menantikan musim semi."



-Giey-
18.03.2015 (18:30)

Comments

Popular posts from this blog

Hhhh...

Romansa Putih Abu-Abu ( 1 )

Tarian Jemariku