Untukku Renungkan

"Tuhan tak adil padaku" mungkin kalimat itu sangat sering ku dengar dan bahkan ku ucapkan saat mendapati hal yang tak pernah diinginkan. Tak jarang mengutuki dan berkata "Kenapa harus aku?" lalu kemudian menangis meraung.
Terkadang aku merasa ujian ini begitu berat menimpaku. Tak pernah ada henti, tak pernah ada jeda. Pernah aku berfikir unutk mengakhiri saja hidupku dengan jalan pintas, menggantung diriku pada seutas tali dalam kamar. Persetan dengan dosa, aku tak peduli. Fikirku saat itu.  Dan lalu aku teringat anakku, teringat ayahku. Tak terasa buliran air mata ini menetes satu demi satu. "Tuhan kuatkan aku..."

Selama ini aku tak pernah menilik ke luar, aku terlalu asik dengan masalahku sendiri. Seolah masalahku lah yang paling berat diantara mereka. Dan ternyata aku salah, di luar sana ada wanita yang lebih memiliki beban lebih berat dibanding aku, banyak bahkan. Dan masing-masing dari mereka memilih jalannya untuk menyelesaikan permasalahan yang ada.

Tak pernah aku bayangkan sebelumnya jika aku kan menjalani kehidupanku dengan menjadi seorang single parent. Dan ini ujian terberat kedua dalam kehidupanku setelah sebelumnya aku harus menyaksikan kepergian Ibuku tanpa mampu memeluknya untuk terakahir kali karena kehamilanku (mitos). Aku hadapi ini sendiri, sekalipun ada teman ada kakak tapi mereka tak mampu membantu lebih dari sekedar support.

Terimakasih untuk kakakku tercinta yang mau membantu menyelesaikan administrasi persyaratan pindah domisili. Terimakasih kakak iparku yang mau mengantarku ke pintu Pengadilan Agama saat itu,sekalipun pada awalnya dia enggan untuk melakukannya. Akhirnya ia mau datang.

Sidang pertama hari itu aku datang sendiri, seperti orang bodoh dikala melihat yang lain datang beramai-ramai diantar keluarga dan kolega mereka, entah untuk tujuan apa, sekedar memberi support mungkin. Sembari menunggu keluarga kakakku datang, aku menyalaminya, dan ia bertanya "Masih lama kah?" "Masih" jawabku. Dan ia bicara " Kakak harus pergi, hari ini kakak berangkat, kamu tak apa sendiri?" "Tak apa, kakak berangkat saja, aku bisa qo." Aku mencoba menguatkan diriku sendiri.
Dan kakak kuberlalu.
Hari itu majelis memintaku untuk mediasi, tapi aku menolak untuk adakan itu, aku bilang jika yang mulia akan mengundang dia untuk mediasi silahkan tapi aku hanya ingin lanjut. Dan majelis mengabulkan inginku. Aku diminta untuk menghadirkan saksi 2 orang saat sidang lanjutan nanti. Dan aku bingung, siapakah yang harus aku hadirkan???

Aku meminta kakak iparku, ia tak mau. Meminta tetanggaku pun tak mau, sekalipun aku akan membayarnya. Lelah aku mencari ke sana-kemari. Seorang bijak pernah berkata "Begitu banyak sahabatmu kulihat, berapa banyak kah?nanti aku hitung setelah aku tertimpa musibah". Benar, saat aku tertawa hura-hura banyak sekali dari mereka yang mendekat bahkan menyanjung, dan lalu saat aku mulai terpuruk satu-persatu dari mereka melupakanku, aku dilupakan. Akhirnya, aku terpaksa datang kembali kepersidangan keduaku dengan kesendirian. Melongok kanan-kiri tak ada yang sendiri, semua diantar. Hingga ada seorang ibu yang bertanya kepadaku "Datang sama siapa neng?" "sendiri bu" jawabku "Hah?sidang keberapa?" Ia kembali bertanya. "Iya, sidang kedua.". Ibu itu kembali berceloteh " Tuhan, kuat banget neng, saya aja diantar sama bibi saya sekalipun usia saya sudah tua, tapi saya gak berani datang sendiri." Dan aku hanya mampu tersenyum. Mau bagaimana lagi, batinku.
Sidang kedua ditunda karena majelis tidak menginginkan aku datang sendiri. Harus ada saksi yang dihadirkan.

Dan akhirnya aku memohon pada kakak iparku dan kepada ayahku untuk membantuku, karena jika tidak gugatan itu tak dikabulkan dan statusku akan menjadi tak jelas seperti sebelum aku mengajukan gugatan
Di sidang ketiga palu akhirnya diketukan. Sedikit bernafas lega, pilu masih tertahan di hati.

Entah pada siapa aku mengadu, selain kepadaNya. Tak ada lagi tempat untuk bahu ini bersandar. Ibuku telah tiada jauh sebelum beliau sempat melihat cucunya hadir ke bumi.Tak jarang aku menangis di tempat aku bekerja, di meja sambil menyelesaikan laporanku, di kamar mandi mnegurung diri meluapkan emosiku. Aku tertawa dibalik air mata yang menetes dalam hati, selalu aku lakukan jika aku harus berhadapan dengan kawan yang tak mengetahui kisahku.

Awalnya kufikir selesai sudah semuanya, tapi ternyata tak semudah itu. Perjuangan untuk aku bisa bangkit masih sangat jauh. Sebelum sidang, apapun aku lakukan untuk bisa bertahan hidup karena suamiku tak lagi beriku nafkah, aku menjual mahar yang dulu pernah aku gadaikan, sekalipun hasilnya tak seberapa karena sebagian hasil penjualan digunakan untuk melunasi sisa pinjaman gadai. Menjadi sales freelance door to door yang hasilnya pun tak seberapa yang penting aku bisa makan pagi siang dan sore. Hingga akhirnya aku diterima kerja di sebuah perusahaan distributor dengan gaji yang cukup untuk ongkos dan makan saat itu. Dan aku bersyukur sekalipun hingga saat ini gajiku masih minimal, setidaknya aku memiliki kendaraan pribadi atas perjuanganku.

Tiga tahun masa itu berlalu, tak terasa mungkin. Tapi sangat terasa sebenarnya. Aku masih harus berjuang untuk mampu bertahan hidup. Terkadang aku sampai ingin mencari pekerjaan sampingan lain untuk menyambung penghasilanku yang tak seberapa besarnya. Tapi selalu aku urungkan karena memang tak ada lowongan kerja seperti itu.

Ya sudahlah, aku pasrah. Yang bisa aku lakukan ya berhemat. Walau tak jarang mesti gali lobang tutup lobang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Aku selalu berusaha menjalani ini dengan senyuman, karena aku hanya ingin mereka tau aku bahagia.

Ayah (bapak aku biasa memanggilnya) ya ia satu-satunya orang tua yang aku miliki kini. Darinya aku banyak belajar, kesederhanaan. Senang bersamanya susah pun bersamanya. Pernah suatu ketika saat tak ada lagi receh di saku, aku bertanya "Sudah makan?" "Belum" jawabnya. Aku menoleh ke atas tembok mencari kantong kresek yang pernah aku gantungkan di atas paku. " Ada mie nih pak, mau dibuatin?" tanyaku. "Ada berapa?" beliau bertanya "Satu" Jawabku. "Kamunya?" tanya beliau. "Gampang, yang penting bapak aja dulu makan." aku menjawab. " Ya udah samaan aja, setengahan." akhirnya bapak beri solusi.
Aku merebusnya sambil menahan tangis dari mataku. "Mah, maafin aku, belum bisa berbuat yang terbaik untuk kalian, makanpun masih harus seperti ini."
Dan kala itu aku tak berani meminta pada kedua kakakku, karena bapakku pun melarangnya.

Dan Tuhan masih harus menguji kesabaran ku hingga hari ini. Ya aku masih harus makan hanya berkawan telur atau bahkan hanya kecap. Mungkin yang mereka tau aku orang mampu, bekerja kantoran dengan mengendarai sepeda motor nan bagus, dengan penghasilan yang berjuta-juta banyaknya. Aku bersyukur jika mereka berfikiran seperti itu, doa bagiku. Mungkin bagiku ini berat, tapi ternyata aku salah.

Diluar sana masih banyak wanita tangguh yang tak pernah mengeluhkan akan perjuangan hidupnya selama ini. Mereka dengan semangatnya berjuang demi keluarga mereka, demi anak-anak mereka bahkan demi suami mereka yang (maaf) memiliki keterbatasan fisik. Dan lagi Tuhan itu adil kawan, ia beri kekurangan pada kita dan beri kelebihan yang lain untuk kita agar kita bisa tetap menghargai hidup dan bertahan hidup.

Ada wanita yang harus berjuang dengan penyakit yang dideritanya, depresi sesaat lalu kemudian bangkit dan buktikan pada dunia ia mampu mengukir prestasi. Ada wanita yang harus berjuang membesarkan ke 2 anaknya hanya dengan menjadi pembantu rumah tangga karena tak ada suami lagi yang mendampinginya dan ia berhasil menjadikan kedua anaknya menjadi anak yang berpendidikan. Ada wanita yang pontang-panting kerja pagi hingga malam menjadi buruh cuci demi menghidupi diri dan anak semata wayangnya karena suaminya yang entah tak jelas ada dimana.

Ya jika kau dan aku berkata "Cobaan ini berat bagiku" "Kenapa harus aku?" cobalah kembali menilik kebawah, adakah ia-mereka yang mendapatkan cobaan yang tak lebih dari yang kau peroleh dari Tuhanmu.

"Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan" (Ar Rahman)




-Giey-
01.12.2014 (23:00)

Comments

Popular posts from this blog

Hhhh...

Romansa Putih Abu-Abu ( 1 )

Tarian Jemariku