Tuluskah (Ikhlaskah) ?
Ini aku tulis ketika
sudah tak ada lagi quota untuk bisa merangkainya langsung dalam blog. Maklum
masih karyawati belum menjadi owner
Pernah mendengar kalimat
cinta tak harus saling memiliki? Pasti pernah, di lyric lagu kalimat itu
sepertinya sering digunakan. Setuju tidak sih dengan kata-kata tadi? Sebagian
orang mungkin dengan pasrahnya berkata “ya mau gimana lagi.” Dan sebagian lain
lagi mungkin kan berbicara “Sebelum janur kuning melengkung dia masih bisa ku
usahakan untuk menjadi milikku.” Jujurku aku tidak setuju dengan kalimat lyric
lagu tadi, bagaimana ya jadinya jika jadinya kita tak bisa mendapatkan cinta
dari Allah, dari Tuhan kita? Yang pasti sangat tidak mengenakkan. Tapi itukan
beda hubungan? Yup, memang benar sekali. Tapi, jika kita telah memiliki cinta
dari sang Maha, maka kita pun akan memiliki cinta dari sesama. Karena Tuhan tak
akan pernah membiarkan yang dicintaiNya menangis.
Lupakan tentang cinta.
Pernah juga kan mendengar kata tulus? Apa sih artinya? Menurut teori yang aku
tau tulus itu ketika kita melakukan sesuatu tanpa pamrih. Sama tidak dengan
Ikhlas? Sama kali ya, atau beda? Bisa jadi kembar. Yang aku tau, ikhlas itu
ketika kita berbuat sesuatu yang berhubungan dengan ibadah (semua juga ibadah
sebenarnya) kita tidak mengharapkan imbalan apapun, tidak mengharap pujian
apapun, tidak mengharap balasan apapun dari apa yang telah kita lakukan, yang
telah kita berikan kepada orang lain, kepada makhluk lain kepada alam dan
isinya, kecuali ridha Allah. Tapi tak
pernah mudah kan untuk bisa melakukan keduanya, Ikhlas maupun Tulus? Ketika
kita memberikan sesuatu kepada orang lain , kepada makhluk lain dsb, bisa jadi
saat ditanya mulut kita menjawab Ikhlas, atau tulus. Tapi bagaimana dengan hati
apa benar kita ikhlas? Apa benar kita tulus? Aku pun begitu, ketika aku
melakukan sesuatu untuk orang lain ada rasa terbesit di hati aku lakukan ini
agar nantinya ketika aku memerlukan bantuan ia pun akan membantuku. Sekalipun
tak terucap tapi itu berarti aku tidak tulus atau ikhlas, sepertinya begitu.
Biasanya nih ketika telah
melakukan sesuatu dan berkata ikhlas, sementara benar lah ikhlas (soal hati
Allah dan dia saja yang tau). Tapi apa iya? Tak jarang kan di hari kemudian apa
yang telah kita perbuat pada hari yang telah lalu kita ceritakan pada kawan
kita, lalu apakah masih bisa dikatakan kita ikhlas? Entah tanya ustadz aja
sepertinya. Yang aku tau nanti jatuhnya ke Riya alias Pamer. Akhirnya sombong,
merasa aku. Atau malah akhirnya kawan yang kita ceritakan berfikiran A-Z.
Lalu apa bedanya Tulus
dengan Modus (makhluk apa lagi ya). Bedanya tipis, sangat tipis. Khususnya
ketika cowo melakukan sesuatu untuk cewe atau sebaliknya. Karena jarang yah ada
cowo yang melakukan sesuatu untuk cewe itu tanpa mengharapkan sesuatu, inginkan
respons positive biasanya karena bisa jadi lagi PDKT (Pede sekate-kate eh bukan
tapi pendekatan). Dan jika benar itu namanya modus (kata cewe). Cowo pasti gak
setuju, dia pasti bakal bilang “Aku tulus” kalaupun ada respons dari cewe kan
ya syukur kalo gak ada ya kabur, hehehe...(kan modus). Ini juga berlaku untuk
cewe yah. Bukan hanya cowo. Beda nya cewe itu kadang beri respons hanya untuk
menarik perhatian cowo, khususnya yang lagi ngincer dia (cewe) supaya sang cowo
itu mau melakukan sesuatu untuk dia. Dan yang cowo bakal anggep si cewe ini ya
suka juga sama dia. Yang ini nih bener-bener modus.
Baru bisa dikatakan tulus
atau ikhlas ketika kita melakukan sesuatu tanpa imbalan, tak pernah tebang
pilih kepada siapa kita beri bantuan, dan kemudian tak pernah lagi kita
ceritakan apa yang pernah kita lakukan kepada orang lain. Lain hal ketika ada
orang yang melihatnya kemudian ia menceritakan apa yang ia lihat tentang apa
yang telah kita lakukan untuk orang lain, dengan tujuan kebaikan. Dan bila hal
itu sampai ke telinga kita, hati-hati kita pun tak boleh lagi menjadi sombong.
Kan sia-sia jadinya.

Dan aku pernah merasakan ajaibnya
kata ikhlas, ikhlas yang diucapkan dari hati dan kesungguhan. Adalah ketika mama
ku sakit, ketika Tuhan kan memintanya kembali dari pelukan kami. Ya, saat itu
beliau sakit keras, 3 bulan lamanya beliau sakit. Dan ketika itu aku bisa
dibilang menjadi anak yang tak tau diri karena saat mama membutuhkan
anak-anaknya aku tak ada. Kondisiku sedang hamil 9 bulan, dan pastinya suami
akan keberatan jika aku menemani mama di sana, di rumah yang aku tinggali sejak
aku kecil dan kini, sekalipun ia tak bicara tapi aku tau. Mama masuk RS, hanya
kakakku dan bapak yang menemani siang dan malamnya. Tuhan aku merasa tak berguna, aku tak mampu melakukan apa-apa. Aku
berjalan ke RS sendiri, menemui mama ku, sejak mama dirawat semalam baru sore
itu aku bisa ke sana, karena perutku selalu kontraksi. Aku berusaha tegar
ketika melihat kondisi mamaku yang terbaring lemah di RS, beliau kembali
seperti anak kecil, lupa, tapi tak lupa kepadaku. Ahhh...aku selalu menangis
jika aku mengenang semua ini, jika aku mengingat semua ini. Tiba waktu maghrib,
dalam doa panjangku aku menangis, aku ikhlaskan jika Tuhan memanggil mamaku,
aku tak ingin melihatnya tersiksa lagi dengan sakitnya, aku tak ingin
melihatnya lagi menangis. Dan Allah mengabulkan pintaku, malam sebelum mama
meninggal aku bermimpi aku melahirkan di bidan dan mama menemaniku tidak di
samping kanan, tidak pula di samping kiri, ia ada di hadapanku menatapku. Subuh
buta, aku mendapatkan kabar mama masuk ICU, aku sudah siap dengan kemungkinan
yang ada. Lepas subuh aku ke RS bersama suamiku, yang kini telah menjadi ayah
dari anakku. Ketika aku datang masih ada respons suara. Aku hanya sempat
bisikkan “Mah ini aku, istighfar ya mah Astaghfirullahaladzim” dan mama hanya
menjawab “Hm hm hm”.
Aku berfikir positif saat
itu, detak jantung mama masih normal fikirku. Kami diminta keluar oleh petugas
untuk sterilisasi ruangan. Bodohnya tak ada satupun petugas yang memberitahu
jika sterilisasi telah usai. Aku berdiam diri di samping ruangan, menemani
bapak yang tertidur karena lelah. Tak berapa lama nama mama di sebut, aku dan
kakak ku masuk ke dalam ruangan, dan kau tau aku telah melihat tubuh mamaku
terbujur kaku di sana, di kelilingi oleh beberapa perawat dan dokter, tanpa ada
satupun anaknya ada disampingnya untuk membimbingnya mengingat Allah. Aku
terdiam, tangisku pecah aku hanya mampu memeluk kakakku yang sedari tadi
menggandengku. Ingin rasanya aku memeluk mama untuk yang terakhir kalinya. Tapi
Suster melarangku, ia memegangiku, memintaku untuk duduk karena khawatir aku
kan terjatuh dengan kondisiku yang sedang hamil. “Allah Kau mendengar doaku, ke ikhlasanku Kau terima.” Aku berusaha
tegar, kuhubungi kakakku yang lain memberi kabar duka, kami berdua menangis
melalui ponsel. Entah siapa yang membangunkan tidur bapakku, karena ketika aku
keluar ruangan bapak telah menangis.
Ya ini keajaiban atas
kata ikhlas yang pernah aku alami, mungkin sebagian kan berkata sudah waktunya
saja. Mungkin, tapi aku pernah mendengar dan melihat di tayangan televisi yang katanya berdasarkan kisah nyata “Belum
dicabut nyawa seseorang dengan sempurna jika masih ada yang mengganjal
kepergiannya”.
Ikhlas dan Tulus, 2 kata
yang sering kita dengar dan sering kita ucapkan. Tapi sangat jarang kita bisa
melakukannya dengan benar.
-Giey-
06.12.2014 (15:00)
Comments
Post a Comment