Penantian Itu Bernama Sia-Sia

"Jika kau sedang senang, nikmati alunan musiknya. Dan saat hatimu gundah, pahami lyricnya. Karena lagu adalah ungkapan emosi kita saat enggan berbicara" (Dwi Mel)

Alhamdulillah untuk nikmat yang Kau berikan pada kami hari ini. Aku dan ayahku masih bisa menikmati hangatnya nasi berkawan tempe dan ikan asin goreng. "Enak begini makan" ayahku tiba-tiba berkata di sela ia mengunyah. "Hu um, nikmat" jawabku.

Dalam dingin udara malam, karena rintik hujan masih membasahi bumi. Sayup terdengar alunan ayat suci Al-Quran dibacakan seseorang dari masjid seberang, menambah syahdunya suasana malam ini.
Jika boleh aku bertanya, kan kau ibaratkan apakah aku ini? daun rapuhkah?ranting keringkah, atau mungkin kain yang telah koyak? Apapun kau ibaratkan aku, aku tetap tak sempurna.

Hari ini aku mendapati mata seorang kawanku menahan tangis, lagu sendu seperti mewakili perasaannya, ada apa gerangan? Aku hanya mampu menatapnya dari kejauhan tak berani bertanya. Hingga akhirnya ia menuliskan kegundahan hatinya ke atas secarik kertas putih.

Tuhan, rasa sakit ini datang bertubi-tubi, dan kali ini aku merasakan sakit yang sangat. Ia yang ku nanti, Ia yang beriku harapan indah ternyata membohongiku. 6 Januari nanti ia akan menikah dengan wanita yang menjadi pilihan hatinya, dan ia tak pernah mengatakan ini kepadaku. Seolah semua baik-baik saja. Sakitku menjalar ketika aku mengetahuinya dari seorang kawan, entahlah sepertinya ia memang tak benar tahu kisahku dengannya. Dan ketika aku menanyakan ini, ia hanya berkata "maaf aku hanya tak ingin menyakitimu". "Mudah saja bagimu dan kau tau ini lebih menyakitkan dari yang kau kira" aku menjawab. Entahlah aku tak tahu apakah ada penyesalan atau kah tidak ada sama sekali. Tapi ia, telah mematahkan harapanku, telah mematahkan asaku, dan ia telah menghilangkan keyakinanku lagi untuk menjalin kasih. Kini ku yakini untuk bertahan dalam kesendirianku.

Ku lihat air matanya hampir menetes, dengan sigap ia menyekanya. Ia menarik nafas panjang, mencoba untuk menenangkan diri agar tak terisak. Dan kembali ia melanjutkan berkisah

Aku menantinya sejak setahun yang lalu, saat ia beri harapan itu padaku, atau mungkin sebenarnya itu hanya tipuan dia saja, atau aku yang terlalu kegeeran, terlalu percaya diri, terlalu berharap, terlalu bermimpi... Tuhan, entah ini sudah yang keberapa kalinya Kau patahkan asa, mimpi dan harapanku untuk kembali menata hati dan hari? Aku tak pernah menganggap serius kisah yang lain kecuali dengan dia, tapi ternyata kisah ini hanya fiksi. Dan akulah pemeran utamanya. Rasanya aku ingin menangis tersedu dihadapannya, tapi untuk apa? ia telah bahagia dengan pilihannya yang mungkin sebenarnya tak pernah sedikitpun ia memilihku. Sekalipun aku menangis meratap ini tak akan pernah merubah segalanya menjadi indah untukku.

Dengan menahan gemetar ia kembali menyeka airmata yang sedari tadi mengalir dipipinya. Aku tau ia mencoba tegar, ia mencoba menguatkan hati atas kenyataan yang harus ia terima hari ini.
Aku masih bersyukur, hingga hari ini aku masih memilih bertahan dalam kesendirianku, tak berharap banyak, tak berharap lebih, pasrahku pada Tuhanku.

Aku pernah alami apa yang kawanku alami hari ini. Saat ia yang ku kasihi menikah dengan wanita pilihannya tanpa sepengetahuanku, hatiku terkoyak, cahaya disekelilingku seketika itu jua padam, gelap. Nafasku terhenti sejenak dan akhirnya aku menangis, kuhubungi satu per satu kawan lamaku yang juga kawan dia, mereka terhenyak entah berpura-entah juga karena benar mereka tak tahu. Aku semalam menahan tangis, mencoba menerima keputusan yang telah aku buat sebelumnya, mencoba menerima kenyataan yang ada hari itu. Aku menatap kosong dinding kamarku, "maafkan aku yang telah meninggalkanmu, walau tak sepenuhnya aku pergi."
Tapi waktu tak mungkin berputar mundur, ia kan selalu berputar maju, meninggalkan masa yang telah lalu, mengubur kisah yang telah usang.

Aku kini menjalani kisahku dengan apa adanya, pasrah kuserahkan segalanya, masih tak ada hati yang mengiringi langkah ini. Aku masih menikmati aku yang sekarang.  Menikmati waktuku bersama ayahku, menikmati waktuku bersama anakku, menikmati waktuku bersama kawanku. Tak ada yang berhak melarangku menikmati itu semua, kecuali Tuhanku.

Dan dalam lelah malam ini aku hanya ingin terlelap dalam pelukan hangat Tuhanku.



-Giey-
02/12/204 (19:30)

Comments

Popular posts from this blog

Hhhh...

Romansa Putih Abu-Abu ( 1 )

Tarian Jemariku