Tentangmu Savana
Malam tadi ia berkisah tentangnya, sosok wanita yang mampu meluluhkan hatinya. Savana ungkapkan semua tentangharapan-harapan, tentang mimpi-mimpi, dan tentang isi hati padanya, seolah ia ada dihadapannya saat itu. Aku hanya mampu tersenyum dalam getir. Entahlah rasa itu menyeruak begitu saja, padahal sebelumnya pernah aku katakan pada savana bahwa aku telah berdamai dengan hatiku. Ternyata aku bohong. Terlalu munafik rasanya jika aku berkata tak kan pernah lagi. Karena malam ini terbukti hatiku merasa tersayat kembali.
Ingin aku katakan padanya tentang perasaanku malam tadi, tapi untuk apa? Apa lah aku ini, hanya sekumpulan kertas usang yang entah kapan akan kembali dibuka lagi oleh penulisnya. Dan atau aku hanya semburat warna jingga yang akan segera tergantikan oleh malam, terlupakan. Kembali aku tatap rangkaian tulisan itu, tulisan yang ia ukir bukan pada media seperti biasanya, ia mengukirnya di salah satu bagian tubuhnya. Rintik Senja. Begitulah kira-kira kata dalam ukiran itu. Sebuah nama yang mengingatkan aku pada sosok itu. Ia yang aku sebut dengan rembulan. Ia yang pernah membuat savana merasa sakit, kecewa namun tak pernah menjadi benci, dan bahkan masih tetap menyimpan rasa yang sama.
Cukup lama sepertinya savana tak lagi menarikan jemarinya
pada diri. Mungkin ia telah menemukan tempat lain untuk bercerita, menemukan
jurnal baru seperti apa yang pernah ia katakan. Aku tau savanna merindukannya, sebelumnya
ia pernah berkata “Sudah 2 bulan ini aku tak bertemu dengannya, tak berbicara
padanya, tak seperti hubunganku denganmu.” Aku menjawabnya dengan senyum “
Sabarlah, ini masih kemarau, beri ia kesempatan untuk memperindah diri saat
waktunya tiba.” Dan savana pun tertawa.
Aku bicara pada savana bertanya tentangnya yang selalu ia rindukan. Kau tau, ia tak menjawab tanyaku melalui kata tetapi ia menjawab tanyaku melalui ukiran sebuah nama. Tentu kau tau kan siapa nama itu? aku hanya berkata "oh", lalu savana berkata "Harusnya aku gak bilang ke kamu, atau harus aku bilang? aku tak tau. Yang aku tau, benar aku begitu berharap dengan kehadirannya. Tapi, apa kamu juga tau? aku bahkan tak ingin kehilangan kamu. Ini menjadi rumit untukku, untuk kamu. Jika bulan bisa terbelah, aku ingin kamu menjadi salah satu bagiannya. Maaf aku begitu egois."
Aku hanya menjawab dengan senyum. Entah apakah akupun berkata padanya atau tidak, aku lupa. Tapi yang pasti itu seperti sebuah benda tajam yang kembali menyayat luka yang hampir mengering.
Aku bicara pada savana bertanya tentangnya yang selalu ia rindukan. Kau tau, ia tak menjawab tanyaku melalui kata tetapi ia menjawab tanyaku melalui ukiran sebuah nama. Tentu kau tau kan siapa nama itu? aku hanya berkata "oh", lalu savana berkata "Harusnya aku gak bilang ke kamu, atau harus aku bilang? aku tak tau. Yang aku tau, benar aku begitu berharap dengan kehadirannya. Tapi, apa kamu juga tau? aku bahkan tak ingin kehilangan kamu. Ini menjadi rumit untukku, untuk kamu. Jika bulan bisa terbelah, aku ingin kamu menjadi salah satu bagiannya. Maaf aku begitu egois."
Aku hanya menjawab dengan senyum. Entah apakah akupun berkata padanya atau tidak, aku lupa. Tapi yang pasti itu seperti sebuah benda tajam yang kembali menyayat luka yang hampir mengering.
Aku di sini savana, masih menunggumu untuk kembali berbagi
cerita dan tertawa bersama-dulu.
Aku akan pergi seiring dengan senja yang perlahan tenggelam. Dan pastikan esok aku takkan berbincang dengan mu lagi-kini.
Aku akan pergi seiring dengan senja yang perlahan tenggelam. Dan pastikan esok aku takkan berbincang dengan mu lagi-kini.
-Giey-
17.09.2014 (13:47)
Comments
Post a Comment