Senja Yang Tak Pernah Membenci Malam
Sehari kemarin langit
terus membasahi bumi dengan hujannya. Entah rindu, entah tangis kesedihan. Tak begitu
gelap memang, karena masih bisa kulihat setitik cahaya langit. Dan sejak
kemarin pula aku hanya mampu berbaring, sesekali terbangun hanya karena aku
harus menjalani kewajibanku sebagai seorang ibu.
Aku menikmati tiap tetesan air hujan yang jatuh ke bumi dari balik jendela kamarku, pun begitu dengan anakku, sembari mendendangkan lagu milik Sherina dia bertanya “ Ibu kapan hujannya brenti, nanti malem kan kiran mau beli kembang api.” Dan aku menjawab “nanti sore juga brenti qo”.
Aku menikmati tiap tetesan air hujan yang jatuh ke bumi dari balik jendela kamarku, pun begitu dengan anakku, sembari mendendangkan lagu milik Sherina dia bertanya “ Ibu kapan hujannya brenti, nanti malem kan kiran mau beli kembang api.” Dan aku menjawab “nanti sore juga brenti qo”.
Semalam langit masih
tampak mendung, dan perlahan cahaya temaram muncul dari baliknya. Bulan.
Aku memang mengagumi senja, karena mentari senja tak pernah sedikitpun marah, sedih dan atau kecewa saat malam menggantikan keindahannya. Tapi aku juga menyukai malam, saat bulan menyembul dari balik awan mendung, dan sinaran sempurnanya menghiasi langit bersama awan yang menggumpal diantara dingin yang disisakan oleh hujan hari ini.
Aku memang mengagumi senja, karena mentari senja tak pernah sedikitpun marah, sedih dan atau kecewa saat malam menggantikan keindahannya. Tapi aku juga menyukai malam, saat bulan menyembul dari balik awan mendung, dan sinaran sempurnanya menghiasi langit bersama awan yang menggumpal diantara dingin yang disisakan oleh hujan hari ini.
Aku memandang takjub ke
arah langit saat kirana dengan asyiknya bermain kembang api. Tak selamanya
mendung itu tak membawa warna yang indah. Akan ada setiap keindahan yang
tercipta dari apa yang telah di rencanaka oleh sang Illahi. Pun begitu dengan
kehidupanku, dibalik rasa duka yang menyelimuti, ada cerita indah yang dapat ku
bagi dengan mereka.
Dan hari ini saat mentari
bersinar dengan cerahnya, aku masih berbaring lemas dengan menahan sakit yang
tak terperi dari lambungku dan mulai memainkan jemari tangan di atas tut
keyboard laptopku.
Aku pernah mengatakan pada seseorang di sana, bahwa aku seperti enggan untuk beranjak dari dirinya. Padahal sejak awal dia telah menggoreskan sayatan luka pada diri ini, membuat cerita yang seharusnya indah penuh tawa menjadi air mata. Aku pun bertanya kenapa aku masih memilih untuk berbagi kisah dengannya, sedangkan di luar sana banyak yang ingin aku berbagi kisah dengan mereka? Satu jawaban yang dapat aku temukan, karena aku masih dapat menemukan setitik rasa nyaman saat aku berbagi kisah dengannya, bercerita tentang senja, tentang hujan, tentang bulan tentang apapun. Dan dengannya aku bebas berkata tanpa harus menahan laju ucapanku.
Aku pernah mengatakan pada seseorang di sana, bahwa aku seperti enggan untuk beranjak dari dirinya. Padahal sejak awal dia telah menggoreskan sayatan luka pada diri ini, membuat cerita yang seharusnya indah penuh tawa menjadi air mata. Aku pun bertanya kenapa aku masih memilih untuk berbagi kisah dengannya, sedangkan di luar sana banyak yang ingin aku berbagi kisah dengan mereka? Satu jawaban yang dapat aku temukan, karena aku masih dapat menemukan setitik rasa nyaman saat aku berbagi kisah dengannya, bercerita tentang senja, tentang hujan, tentang bulan tentang apapun. Dan dengannya aku bebas berkata tanpa harus menahan laju ucapanku.
Aku pernah mencoba untuk
membencinya, pernah untuk tak berbagi kisah dengannya, tapi ternyata cara itu
salah. Semakin aku pergi semakin aku ingin bercerita kepadanya. Seperti kemarin
saat ia berkata untuk aku membencinya dengan berbagai alasan yang ia utarakan
kepadaku, aku hanya berkata padanya dengan senyuman, jika semua itu bukanlah
alasan untuk aku bisa membencinya.
dan semalam aku mendengarnya berkisah tentangku, lagi.
dan semalam aku mendengarnya berkisah tentangku, lagi.
Comments
Post a Comment